Senin, 02 Mei 2016

PERSETUJUAN ROEM ROYEN



PERSETUJUAN  ROEM  ROYEN

Akhirnya titik terang dalam sengketa penyelesaian konflik antara pihak Indonesia-Belanda terlihat. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak bersedia untuk maju ke meja perundingan. Keberhasilan membawa masalah Indonesia-Belanda ke meja perundingan tidak terlepas dari inisiatif komisi PBB untuk Indonesia. Pada tanggal April 4 April 1949 dilaksanakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota komisi dari Amerika serikat. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem. 
Dalam perundingan Roem Royen, pihak Republik Indonesia tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka untuk perundingan selanjutnya. Sebaliknya, pihak Belanda menuntut penghentian perang gerilya oleh Republik Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949 berhasil dicapai persetujuan antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia. Kemudian disepakati kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal 28 Januari 1949 dan persetujuan pada tanggal 23 Maret 1949. Pernyataan pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh Ketua Delegasi Indonesia Mr. Mohammad Roem yang berisi antara lain sebagai berikut.
  1. Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
  2. Kedua belah pihak bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan serta ketertiban.
  3. Belanda turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat. 
Pernyataan Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain sebagai berikut.
  1. Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia bersama dibawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan untuk :
a.       Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah RI
b.      Mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.
  1. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
  2. Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
  3. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
  4. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.

Persetujuan Roem Royen ini mendapat tentangan dari PDRI yang tidak diajak berunding. Menurut PDRI perundingan dengan Belanda tidak ada gunanya, karena Belanda pasti akan melanggarnya. Lagipula perundingan itu dilakukan oleh para pemimpin yang dalam status tawanan dan posisi mereka lemah.
Dukungan untuk persetujuan Roem Royen diberikan oleh partai Masyumi dan PNI, keduanya menyatakan bahwa persetujuan Roem Royen sekalipun masih kurang memuaskan , tetapi merupakan langkah ke arah penyeleaian pertikaian Indonesia Belanda.
Pihak angkatan perang menyambut persetujuan Roem Royen dengan perasaan curiga, Jendral Soedirman memperingatkan kepada para komandan kesatuan agar tidak memikirkan masalah perundingan, perundingan hanyalah merupakan taktik perjuangan. Angkatan perang pada dasarnya tidak percaya dengan berhasilnya perundingan, karena menurut pengalaman setiap perundingan dengan Belanda selalu merugikan perjuangan.
Perjanjian Roem Royen

Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.
  1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
  2. Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
  3. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.  

Pasca Persetujuan Roem Royen
P ada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam sidang tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam sidang tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar