PERJANJIAN RENVILLE
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian
bangsa-bangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun semakin kuat
dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain
bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu
saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan
rakyat Indonesia adalah bukti bahwa kemerdekaan merupakan kehendak seluruh
rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional berperan aktif
menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda.
Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947
dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan
Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu
pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan
di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian
menerima tawaran Amerika Serikat.
Perundingan
serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan yang
dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal
pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember
1947 di kapal Renville yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin
oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Perundingan
Renville terdiri dari :
a.
Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya
garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
b. Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua
pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
c.
Enam pasal tambahan dari KTN
yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan
Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
Peta wilayah RI berdasar demarkasi
Van Mook.
Sumber:
Atlas Sejarah Indonesia.
Isi
Perundingan Renville :
a.
Belanda
hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia.
b.
Disetujuinya
sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan
Belanda
c.
TNI harus
ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa
Timur Indonesia di Yogyakarta
Pasca Persetujuan Renville.
Pasca
perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus
mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan
Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang
Republik yang tergabung dalam berbagai laskar a.l. Barisan Bambu Runcing dan
Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo
mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan
bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan
Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949,
di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan
berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Persetujuan
ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi
pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan
gencatan senjata yang berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada
kedudukan yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung
oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade
ekonomi yang dilakukan Belanda dengan ketat. Persetujuan menimbulkan reaksi
keras di kalangan Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan jatuhnya
Kabinet Amir Sjarifuddin.
AGRESI MILITER BELANDA II
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa
Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu pemerintah RI dan
TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan aksi
militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi
kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin
oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada tanggal 19 Desember
1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda
bersikeras menyebut momen penyerbuan tersebut sebagai “Aksi Polisionil”. Dengan
istilah “Aksi Polisionil”, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa momen tersebut
bukan adalah momen militer. Sebuah momen militer menganggapankan adanya perang
antara dua entitas negara yang tidak sama. Padahal, bagi pihak Belanda, RI
bukan adalah suatu negara, melainkan tahap dari wilayah yang dikuasai
oleh Belanda. Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 dimaksudkan oleh
Belanda untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang berada di pihak RI, yaitu
TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis alias bahkan kriminal.
Seluruh kekuatan
Belanda yang sudah dipersiapkan untuk Penyerangan Militer Belanda II 19
Desember 1948 pun mulai menyerbu Yogyakarta. Ibu kota Yogyakarta jatuh dengan
mudah. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta berbagai menteri
ditawan serta diasingkan Belanda. Sebelum tertangkap, Presiden serta Wakil
Presiden mengirimkan kawat terhadap Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang
berada di Sumatera. Kawat tersebut berisi perintah untuk membentuk suatu
pemerintahan darurat jika Presiden serta Wakil Presiden tertawan musuh.
Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di
India. Apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban
pemerintah pusat, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pernerintah
pelarian (Exile Goverment) di luar negeri. Panglima Besar Jenderal Soedirman
mengeluarkan Perintah Kilat yang segera disebarkan terhadap seluruh personel
TNI untuk meperbuat gerilya. Sebab adanya Perintah Kilat ini, maka setiap
tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri alias Hari Juang Kartika
TNI AD
Agresi militer II itu telah menimbulkan bencana militer maupun
politik bagi Belanda walaupun mereka tampak memperoleh kemenangan dengan mudah.
Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena
Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di
depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari
1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi, agar Republik Indonesia dan Belanda
segera menghentikan permusuhan dan membebaskan Presiden RI dan para pemimpin
politik yang ditawan Belanda. Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta
tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan,
memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar