Senin, 02 Mei 2016

PERJANJIAN RENVILLE



PERJANJIAN  RENVILLE

Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian bangsa-bangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan rakyat Indonesia adalah bukti bahwa kemerdekaan merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional berperan aktif menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda.
Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian menerima tawaran Amerika Serikat.
                                 
Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Perundingan Renville terdiri dari :
a.       Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
b.  Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
c.       Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal). 

        
Peta wilayah RI berdasar demarkasi Van Mook.
Sumber: Atlas Sejarah Indonesia.
Isi Perundingan Renville :
a.       Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
b.       Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
c.        TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta

Pasca Persetujuan Renville.
Pasca perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar a.l. Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia  mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda dengan ketat. Persetujuan menimbulkan reaksi keras di kalangan Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

AGRESI MILITER BELANDA II
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu pemerintah RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras menyebut momen penyerbuan tersebut sebagai “Aksi Polisionil”. Dengan istilah “Aksi Polisionil”, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa momen tersebut bukan adalah momen militer. Sebuah momen militer menganggapankan adanya perang antara dua entitas negara yang tidak sama. Padahal, bagi pihak Belanda, RI bukan adalah suatu  negara, melainkan tahap dari wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 dimaksudkan oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang berada di pihak RI, yaitu TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis alias bahkan kriminal.
Seluruh kekuatan Belanda yang sudah dipersiapkan untuk Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 pun mulai menyerbu Yogyakarta. Ibu kota Yogyakarta jatuh dengan mudah. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta berbagai menteri ditawan serta diasingkan Belanda. Sebelum tertangkap, Presiden serta Wakil Presiden mengirimkan kawat terhadap Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Kawat tersebut berisi perintah untuk membentuk suatu  pemerintahan darurat jika Presiden serta Wakil Presiden tertawan musuh.  Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India. Apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pernerintah pelarian (Exile Goverment) di luar negeri. Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat yang segera disebarkan terhadap seluruh personel TNI untuk meperbuat gerilya. Sebab adanya Perintah Kilat ini, maka setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri alias Hari Juang Kartika TNI AD
Agresi militer II itu telah menimbulkan bencana militer maupun politik bagi Belanda walaupun mereka tampak memperoleh kemenangan dengan mudah. Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi, agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan Presiden RI dan para pemimpin politik yang ditawan Belanda. Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar